Wahyu Sebagai Sumber Informasi
Proses Kenabian Sebagai Proses Perkembangan Peradaban Manusia
Setiap
manusia yang be-Tuhan selalu meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di
dalam kehidupan ini -- termasuk di dalamnya adalah keberagaman
agama-agama itu sendiri -- bersumber pada asal yang satu yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Karena berasal dari satu sumber, meskipun proses
pencapaian terhadap tujuannya melalui cara yang berbeda satu sama lain,
tetapi setiap agama selalu mempunyai tujuan yang sama, yaitu : mencapai
kehidupan yang selamat, baik kehidupan dunia maupun akhirat. Perbedaan
proses pencapaian tersebut di antaranya disebabkan adanya perbedaan
lokasi maupun waktu masa kenabian dari setiap nabi-nabi yang pernah ada.
Kata nabi atau
nabiyy, berasal dari kata
naba’
yang artinya berita tentang sesuatu yang mengandung urusan yang penting
atau berita yang mempunyai manfaat besar yang menyebabkan orang
mengetahui sesuatu. Menurut pemahaman umum, nabi adalah seorang
laki-laki yang diberi wahyu oleh Tuhan dan ditugaskan untuk menyampaikan
wahyu tersebut kepada umatnya. Karena itu nabi juga disebut sebagai
rasul yang berarti utusan atau orang yang mengemban amanat atau pesan.
Tetapi
sering pula disebutkan perbedaan antara nabi dan rasul sebagai berikut,
nabi adalah orang yang menerima wahyu syariat dari Tuhan untuk
dilakukan sendiri, sedangkan rasul adalah seorang manusia yang menerima
wahyu syariat dari Tuhan untuk dilakukan sendiri dan juga agar
disampaikan kepada umatnya. Dengan demikian, setiap rasul itu pasti
nabi, namun tidak setiap nabi itu juga merupakan seorang rasul. Di dalam
Al Qur’an istilah nabi dan rasul digunakan bergantian meskipun orangnya
sama, kadang-kadang disebut sebagai nabi, kadang-kadang disebut rasul,
bahkan kadang-kadang disebut sebagai nabi dan rasul secara bersamaan.
Dan
ceritakanlah hai Muhammad kepada mereka kisah Musa yang ada dalam Al
Qur’an ini. Sesungguhnya dia adalah seorang Pilihan dan seorang rasul
serta nabi pula.
(QS. 19 Maryam: 51)
Dan
ceritakanlah pula kisah Ismail yang ada dalam Al Qur’an ini.
Sesungguhnya dia adalah seorang Penyempurna janji, seorang rasul dan
seorang nabi.
(QS. 19 Maryam: 54).
Adapun
misi utama setiap nabi/rasul itu adalah menyampaikan wahyu Tuhan kepada
masyarakat serta mengajaknya untuk senantiasa mengamalkan wahyu Tuhan
tersebut pada setiap kegiatan hidup yang dilakukannya. Bukan hanya
sebatas kepada sistim ibadah yang diritualkan saja, tetapi juga
menterjemahkannya pengetahuan (wahyu) tersebut kedalam kegiatan hidup
sehari-hari. Misi utama para nabi tersebut dapat dilihat dengan adanya
usaha untuk meluruskan kembali kehidupan masyarakat yang telah
menyimpang dari ajaran nabi sebelumnya, selain menyampaikan wahyu
(pengetahuan) untuk perkembangan kehidupan masyarakat yang selanjutnya
agar cara kehidupan yang dilakukannya tetap sesuai dengan model
kehidupan yang dikehendaki oleh Tuhan. Dalam hal ini Tuhan sendiri
menjelaskannya sebagai berikut:
Tidaklah Kami mengutus
seorang rasul yang sebelummu (Muhammad), melainkan Kami memberi wahyu
kepadanya, yaitu bahwa tiada Tuhan melainkan Aku, karena itu Aku sajalah
yang wajib kalian sembah. (QS.21 Al Anbiya: 25).
Wahyu yang disampaikan oleh para nabi berasal dari kata
waha-yahi-wahyan, yang
berarti isyarat yang cepat yang disampaikan Tuhan kepada mahluk-Nya.
Wahyu dalam bentuknya tertinggi merupakan firman (kalam) Tuhan yang
dianugerahkan pada setiap nabi/rasul-Nya. Adapun dari seluruh wahyu yang
ada, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat macam sebagai berikut:
Pertama,
wahyu
yang merupakan perintah untuk alam, yang dikenal dengan nama Sunnah
Allah atau hukum-hukum Tuhan yang berlaku untuk alam semesta.
Selanjutnya
Dia menuju penciptaan langit, ketika itu masih merupakan gas seperti
asap. Lalu Tuhan berfirman kepadanya dan kepada bumi sekaligus: “Datang
kalian keduanya menjelma, baik dengan jalan patuh, maupun dengan jalan
paksa!” Keduanya menjawab: “Kami segera menjelma dengan patuh”. (QS. 41
Al Fushilat: 11)
Dengan demikian segala
gerak kehidupan atau peristiwa alam berlangsung menurut hukum Tuhan,
karena alam tunduk dan patuh secara total kepada wahyu Tuhan tersebut.
Sebagai contoh, di dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat pengaruh
gravitasi terhadap benda yang apabila jatuh maupun arah aliran air yang
selalu mengalir ke tempat yang letaknya lebih rendah.
Kedua,
wahyu
yang merupakan perintah kepada binatang, seperti wahyu untuk lebah agar
membuat sarang di gunung-gunung, pada pe-pohon-an serta ditempat-tempat
yang dibangun manusia.
Dan Tuhan mewahyukan kepada
lebah: “Bersaranglah di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan pada
bangunan-bangunan lainnya yang dibuat manusia.
Dan
makanlah olehmu bermacam-macam sari buah-buahan, serta tempuhlah
jalan-jalan yang telah ditentukan oleh Tuhanmu dengan lancar. Dari perut
lebah itu keluar minuman berupa madu yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang mujarab untuk manusia. Sesungguhnya pada
hal-hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi
orang-orang yang mau berfikir.
(QS. 16 An Nahl: 68-69).
Wahyu yang untuk binatang merupakan penjelasan tentang tabiat atau gerak instinktif atau naluri.
Ketiga,
wahyu yang diperuntukkan bagi malaikat yang berfungsi untuk meningkatkan dan meneguhkan keimanan manusia.
Ingatlah
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat bala-bantuan itu: “Bahwa
Aku besertamu. Perkuatlah jiwa orang-orang yang beriman. Nanti akan Aku
cetuskan rasa takut dalam hati orang-orang kafir. Penggallah kepala
mereka dan tetaklah tangannya. (QS. 8 Al Anfal: 12)
Keempat,
wahyu
yang diperuntukkan kepada manusia yang proses pewahyuannya dapat
dibedakan menjadi tiga cara. Mengenai pewahyuan terhadap manusia ini,
Tuhan menjelaskannya sebagai berikut:
Dan tidak
mungkin bagi seorang manusia yang jika Tuhan hendak berbicara kepadanya,
kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tirai, atau dengan mengutus
seorang utusan dan mewahyukan dengan izin-Nya apa yang
Dikehendaki-Nya.Sungguh Dia Maha Tinggi dan Maha Bijaksana. (QS. 42 Asy
Syuraa: 51).
Dengan demikian bentuk wahyu yang disampaikan kepada manusia dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
Ke-satu,
dengan cara Tuhan menyampaikan wahyu dalam bentuk aslinya (isyarah al
syari’ah), yakni Tuhan memberikannya isyarat dalam bentu ide, gerak,
atau petunjuk yang dibisikkan kedalam kalbu, seperti halnya wahyu yang
diberikan kepada Ibu Nabi Musa dan kepada Hawariyyun atau
pengikut-pengikut Nabi Isa yang setia:
Dan Kami
ilhamkan kepada ibu Musa:”Susukanlah dia sedapat-dapatmu, namun bila
kamu merasa khawatir atas keselamatannya, hanyutkanlah dia ke dalam
sungai Nil. Jangan engkau merasa khawatir dan dukacita, sebab pasti Kami
akan mengembalikannya kepadamu untuk disusukan, dan selanjutnya
menjadikan dia sebagai rasul. (QS. 28 Al Qashash: 7).
Ketika Kami mengilhami ibumu untuk sesuatu tugas mulia yang mesti diperankan.
Masukkanlah
bayimu Musa itu ke dalam peti, lalu hanyutkanlah peti itu ke sungai
Nil, arus sungai itu akan mendamparkannya ketepi, sehingga diambil oleh
musuh-Ku dan musuhnya yaitu Fir’aun. Aku limpahkan kepadamu kasih
sayang-Ku, supaya engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS.20 Thaa Haa:
38-39).
Lalu ingat pulalah, ketika Aku
ilhamkan kepada kaum Hawari pengikut-pengikut Isa yang setia:”Berimanlah
kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku!”. Mereka menjawab: “Kami telah
beriman dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
kepada-Mu. (QS. 5 Al Ma’idah: 111).
Wahyu-wahyu yang disampaikan dengan cara yang demikian ini disebut
wahy khafi atau wahyu batin.
Hadis-hadis
Nabi termasuk dalam kategori wahyu jenis ke-satu ini, yakni untuk
membedakannya dengan wahyu yang kemudian berbentuk ayat yang disampaikan
dengan perkataan. Wahyu batin ini adalah wahyu yang dianugerahkan Tuhan
kepada seluruh manusia, baik Nabi maupun yang bukan Nabi. Namun bisikan
yang mengarah pada terjadinya kejahatan bukanlah wahyu batin, dan untuk
itu Al Qur’an menjelaskannya sebagai berikut:
Dan
begitulah, Kami adakan musuh-musuh untuk masing-masing nabi, yaitu
manusia-manusia setan dan jin, yang sebagian mereka membisikkan
kata-kata berbunga kepada yang lain untuk menipu. Jika Tuhanmu
menghendaki, tentu mereka tidak akan berbuat demikian. Sebab itu biarkan
sajalah mereka berlarut-larut dengan kebohongan yang mereka buat-buat
itu. (QS. Al An’aam: 112).
Dengan adanya
bisikan-bisikan tersebut, tidak mustahil orang merasa mendapat wahyu,
padahal yang dia terima itu disebut sebagai was-was setan atau limmah.
Untuk membedakan kedua macam bisikan tersebut, Al Qur’an menyebutkan
perbedaannya sebagai berikut:
Setan itu menakut-nakuti
kamu akan jatuh miskin dan menyuruh kamu berbuat yang tidak baik.
Sedangkan Tuhan menjanjikan ampunan dan Karunia-Nya kepadamu. Tuhan Maha
luas karunia-Nya dan Maha Mengetahui. (QS. 2 Al Baqarah: 268).
Ke-dua,
adalah wahyu yang disampaikan dari belakang tirai (min wara’l hijab),
yakni Tuhan di dalam mewahyukan melalui ru’yah (impian), kassyaf (vision
atau pemandangan gaib di balik alam nyata) dan ilham (mendengar suara
atau mengucapkan kata-kata dalam keadaan perpindahan untuk sementara
waktu ke alam rohani, yakni dalam keadaan tidur dan jaga).
Dengan
demikian orang yang dapat mendapatkan wahyu dari belakang tirai
diperlihatkan kepada suatu impian atau vision yang mempunyai arti lebih
dalam dari apa yang sekedar terlihat dalam impian atau vision itu,
tetapi arti itu seakan-akan diselubungi. Oleh karena itu si penerima
wahyu harus mencari arti impian itu dari belakang tirai.
Wahyu
jenis ini bukan hanya diterima oleh nabi saja, tetapi manusia biasa juga
dapat menerimanya. Sebagai contoh adalah impian dua orang pemuda pada
saat Nabi Yuusuf masih di penjara, yang seorang pemeras anggur dan
seorang lagi pembawa roti dikepalanya yang kemudian sebagian dimakan
oleh burung. Nabi Yuusuf menerjemahkan mimpi pemeras anggur tersebut
dengan mengatakan bahwa kelak dia akan menjadi pelayan minum tuannya,
sedangkan kepada pembawa roti dikatakan bahwa kelak dia akan disalib dan
sebagian kepalanya dimakan burung. Dan memang begitulah yang kemudian
terjadi.
Ke-tiga, adalah wahyu yang khusus dianugerah kepada para nabi/rasul, yang disebut sebagai
wahy matluw
atau wahyu yang dibacakan, karena wahyu ini merupakan firman (kalam)
Allah yang dibacakan kepada para nabi/rasul oleh utusan-Nya, malaikat
Jibril. Wahyu Tuhan kepada para nabi/rasul merupakan wahyu yang
tertinggi, karena wahyu itu memberikan penjelasan yang sempurna tentang
kehidupan yang benar. Karena itu wahyu jenis ini disebut sebagai
wahy syar’I
atau wahyu agama. Dengan demikian wahyu jenis ini sudah berhenti pada
Nabi Muhammad, sedangkan wahyu jenis lain akan turun terus kepada setiap
manusia hingga akhir jaman.
Berdasarkan atas pemahaman
nabi/rasul dan wahyu yang seperti tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya misi seorang nabi/rasul adalah melakukan
transformasi wahyu atau pengetahuan untuk kepentingan kehidupan seluruh
umat manusia. Oleh karena itu, keberadaan nabi/rasulnya tersebar di
seluruh penjuru dunia secara silih berganti, dan berhenti pada Nabi
Muhammad yang merupakan Nabi Penutup.
Berkaitan dengan hal
tersebut, Nabi Muhammad sendiri waktu menjawab pertanyaan salah satu
sahabat, menyatakan bahwa jumlah seluruh nabi-nabi yang pernah ada
mencapai 124 ribu yang keberadaannya tersebar pada berbagai belahan
penjuru dunia. Terhadap jumlah Nabi-nabi yang begitu banyak, Al Qur’an
sendiri menyatakan bahwa keberadaan seluruh nabi-nabi tidak semuanya
dijelaskan di dalamnya,
Dan sungguh Kami telah
mengutus rasul-rasul sebelummu, di antara mereka ada yang Kami kisahkan
kepadamu, dan di antara mereka ada yang tidak kami kisahkan kepadamu.
Dan tiadalah ada bagi seorang rasul suatu mukjizat kecuali dengan izin
Allah, maka apabila telah datang ketentuan Allah, diputuskanlah dengan
benar. Dan rugilah di sana orang-orang yang berbuat kebathilan. (QS. 40
Al Mu’min: 78).
Penyebaran nabi-nabi pada berbagai
penjuru dunia menunjukkan bahwa wahyu yang diterima setiap nabi tidak
disampaikan dalam bahasa yang sama, tetapi disampaikan dalam bahasa yang
dipakai oleh masyarakat dimana nabi yang bersangkutan berada.
Keberagaman bahasa yang terjadi di dalam proses pewahyuan dilakukan
dengan tujuan agar wahyu tersebut dapat dipahami dengan mudah oleh
masyarakat pengguna bahasa tersebut sehingga dapat diimplementasikan di
dalam kehidupan nyata.
Kami tidak pernah mengutus seorang rasulpun, kecuali dengan
bahasa bangsanya sendiri, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
mudah terhadap mereka. Namun Allah membiarkan sesat orang-orang yang
dikehendaki-Nya, dan menunjuki orang-orang yang dikehendakinya pula.
Dialah yang Maha Kuasa dan Bijaksana. (QS. 14 Ibrahim: 4).
Dengan
demikian wahyu yang turun tersebut dimaksudkan agar tidak sekedar
menghasilkan kearifan religius saja tetapi sekaligus juga dapat
menghasilkan manusia yang mempunyai kearifan sosial. Meskipun proses
pewahyuan menggunakan bahasa yang berbeda-beda, tetapi karena sumber
wahyunya sama, Tuhan Yang Maha Esa, maka meskipun obyeknya adalah
masyarakat dengan kehidupan sosial-budayanya yang berbeda satu sama
lain, tetapi hakikat dari wahyu-wahyu tersebut pada dasarnya adalah
sama.
Sesungguhnya Agama Tunggal
ini hai Para Nabi, adalah agama untukmu semua dan Akulah Tuhanmu
sekalian! Sebab itu bertakwalah kepada-Ku.(QS. 23 Al Mu’minuun: 52)
Terjadinya
perbedaan di dalam proses pewahyuan tersebut, bukan sekedar terjadi
pada faktor ruang atau masyarakat yang berbeda, tetapi perbedaan
tersebut juga terjadi pada faktor waktu. Perbedaan ruang mengisyaratkan
adanya perbedaan budaya, yang pada ayat tersebut di atas dijelaskan
dengan proses pewahyuan yang disampaikan dalam bahasa yang berbeda satu
sama lain. Sedangkan perbedaan waktu berhubungan dengan dinamika yang
terjadi pada perkembangan masyarakat.
Melihat proses
pewahyuan yang demikian tadi, maka dapat disebutkan bahwa misi dari para
nabi-nabi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu misi jangka pendek
dan misi jangka panjang. Misi jangka pendeknya adalah untuk meluruskan
kembali perilaku kehidupan masyarakat yang telah menyimpang dari
asas-asas kebenaran yang telah disampaikan oleh nabi sebelumnya. Adapun
misi jangka panjangnya adalah melakukan transformasi pengetahuan sebagai
dasar bagi pemahaman terhadap wahyu atau pengetahuan yang akan
disampaikan oleh nabi-nabi selanjutnya.
Padahal, suatu proses
transformasi pengetahuan yang bertahap dan berkesinambungan pada
dasarnya merupakan proses peradaban. Proses yang berjenjang atau
bertahap menjelaskan tentang adanya proses penyesuaian antara wahyu
(pengetahuan) yang diturunkan Tuhan dengan kapasitas intelektual
masyarakat yang menjadi obyek proses pewahyuan tersebut. Penguasaan atau
pemahaman terhadap pengetahuan akan menghasilkan kearifan. Semakin
tinggi tingkat penguasaan atau pemahaman pengetahuan, baik dalam
pengertian kwantitas maupun kwalitas, akan menyebabkan terjadinya
peningkatan kearifan. Perkembangan kearifan yang demikian ini terlihat
pada setiap nabi, seperti yang dijelaskan oleh ayat berikut ini.
Rasul-rasul
itu Kami lebihkan sebagian mereka dari yang lain, di antara mereka ada
yang Allah berkata-kata (langsung kepada dia) dan sebagiannya Allah
meningangkat kemuliaannya beberapa derajat. Kami berikan kepada Isa’
putera Maryam beberapa mujizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul
Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang yang berada
sepeninggal rasul-rasul itu tidaklah akan berbunuh-bunuhan setelah
datang kepada mereka beberapa keterangan. Namun mereka berselisih juga,
ada di antara mereka yang beriman dan ada pula yang kafir. Jika Allah
menghendaki mereka tidak akan berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah
berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. (QS.2 Al Baqarah: 253).
Kesinambungan
yang terjadi pada proses pewahyuan, seharusnya membuat manusia tidak
hanya terpaku kepada ajaran nabi-nabi terdahulu atau tertentu serta
menjadikannya sebagai tradisi. Apalagi bila pemahaman yang telah
mentradisi tersebut kemudian dibakukan dan dianggap berlaku sepanjang
jaman, maka yang terjadi adalah kemacetan atau kemandekan pemahaman.
Sementara itu realitas terus berkembang, semakin lama semakin cepat,
semakin beragam dan komplek. Akhirnya yang terjadi adalah terjadinya
jurang yang semakin lama semakin lebar antara hasil kajian keagamaan
dengan realitas.
Meskipun demikian, Tuhan tetap mememberikan
kebebasan kepada manusia untuk menentukan sendiri ajaran-ajaran yang
menjadi pilihan keyakinannya. Tuhan hanya memperingatkan meskipun
terjadi perbedaan dalam pemilihan keyakinan, tetapi perbedaan tersebut
hendaknya tidak membuat manusia menjadi terkotak-kotak atau terpecah
belah dan kemudian bermusuhan satu sama lain. Sebab bagaimanapun juga,
semuanya masih bersumber pada sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa. Dan kepada setiap Muslim, umat dari nabi yang merupakan mata rantai
terakhir di dalam proses ke-nabi-an tersebut, Tuhan memerintahkannya
sebagai berikut.
Allah telah menetapkan untuk
kamu sekalian inti-inti agama yang sama seperti yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) serta yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahiim, Musa dan
Isa, pokok-pokok isinya sama, yaitu “Tegakkanlah agama tauhid ini dan
janganlah kamu berpecah belah dalam agama itu.” Amat berat bagi
orang-orang musyrik itu menerima agama yang kamu serukan mereka
kepadanya. Allah memilih siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada orang yang ingin kembali kepada-Nya.(QS. 42. Asy Syura: 13).
Kesadaran
terhadap kebebasan manusia di dalam menentukan sendiri sikap hidupnya,
merupakan realisasi dari bentuk keimanan dan penghormatan terhadap
setiap nabi/rasul, merupakan aspek yang menonjol dari akidah Islam.
Katakanlah
hai orang-orang mukmin “Kami beriman kepada Allah dan wahyu yang
diturunkan kepada kami, dan wahyu yang diturtunkan kepada Ibrahiim,
Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, begitu juga yang diturunkan
kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada Nabi-nabi dari
Tuhannya, kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka. Dan
kami adalah orang yang menyerahkan diri kepada-Nya”.
Jika
mereka beriman seperti imanmu, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk; dan jika mereka berpaling tidak beriman seperti imanmu,
sesungguhnya mereka berada dalam suasana permusuhan dengan kamu. Allah
akan memeliharamu dari kejahatan mereka. Dan Dia Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (QS.2 Al Baqarah: 136-137).
Rasul
itu telah beriman kepada Kitab yang diturunkan dari Tuhannya kepadanya,
demikian juga kaum mukminin. Semuanya telah menyatakan beriman kepada
Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan semua Rasul-Nya dan
mereka mengatakan: Kami tidak membedakan antara seorang pun dari para
Rasul-Nya. Mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat. Mereka berdoa:
“Wahai Tuhan kami! Ampunilah kami, kepada Engkau-lah tempat kembali”.
(QS. 2 Al Baqarah: 285).
Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya serta tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka
pahalanya. Dan Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang. (QS. 4 An
Nisaa’: 152).
Sedangkan terhadap orang yang hanya beriman kepada sebagian nabi dan menolak sebagian nabi lagi dimasukkan dalam kategori
kafirun haqqan atau orang-orang yang sebenar-benarnya kafir.
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya serta hendak
membeda-bedakan antara Allah dan Rasul-rasul-Nya itu, yang terbukti dari
ucapannya: “Kami percaya kepada sebagian Rasul dan tidak percaya kepada
sebagian yang lain”, dan mereka yang hendak mengambil jalan tengah di
antara itu.
Mereka orang kafir yang sebenarnya. Kami
telah menyediakan untuk orang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS. 4
An Nisaa’: 150-151).
Perintah untuk tidak
berpecah belah merupakan perintah untuk menjaga agar hubungan
silahturahmi tetap dapat berlangsung dengan baik. Dengan masih
terjalinnya silahturahmi memungkinkan sekali untuk terjadinya proses
transformasi pengetahuan secara arif bijaksana. Akan tetapi penyampaian
informasi secara verbal saja masih kurang effektif apabila tidak
disertai dengan contoh sikap ketauladanan kearifan di dalam kehidupan
riil. seperti yang diisyaratkan oleh QS. 4 An Nisaa’: 152 tersebut di
atas.
Mengenai proses kenabian sebagai satu
kesatuan mata rantai yang utuh, yang saling berkesinambungan antara satu
dengan lainnya, dapat dengan jelas dilihat pada susunan Kitab Injil
yang terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama
berisi kisah para nabi-nabi, dimulai dari Nabi Adam sampai dengan Nabi
Yahya. Artinya, bahwa isi Perjanjian Lama tersebut sebenarnya juga
meliputi seluruh nabi-nabi, mulai dari Nabi Adam sebagai nabi pertama
sampai dengan Nabi Yahya sebagai nabi terakhir sebelum Nabi Isa atau
Yesus Kristus. Sedangkan Perjanjian Baru secara khusus menjelaskan
tentang ajaran Yesus Kristus atau Nabi Isa. Selain itu, Misi kenabian
Nabi Isa selain mengoreksi ajaran-ajaran nabi-nabi sebelumnya yang telah
diselewengkan oleh para pendeta Yahudi, juga menyampaikan pengetahuan
atau risalah tentang manusia dan kemanusiaannya, yang merupakan
pelengkap dari seluruh ajaran-ajaran nabi sebelumnya.
Sedangkan
di dalam Islam, hal tersebut dapat dipahami melalui Rukun Iman ke tiga
dan ke-empat. Rukun Iman ke-tiga adalah kewajiban beriman kepada
Nabi-nabi. Dengan tidak disebutkannya nama Nabi secara khusus, berarti
kewajiban beriman tersebut ditujukan kepada semua Nabi-nabi. Dari
Nabi-nabi yang jumlahnya mencapai 124.000 tersebut, terdapat 25 Nabi
yang wajib diketahui, yaitu Adam sebagai Nabi pertama, , Yahya sebagai
nabi ke`23, Isa sebagai Nabi ke 24 dan Muhammad sebagai Nabi Pamungkas
atau yang ke 25. Rukun Iman yang ke-empat menyangkut kewajiban beriman
bukan kepada Al Qur’an saja, tetapi juga disebutkan Kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelumnya, seperti Taurat, Zabur, Injil serta
Kitab-kitab lainnya, seperti yang dijelaskan oleh ayat berikut ini.
Dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Al Baqarah: 4-5).
Pengakuan
keimanan tersebut juga dilakukan terhadap para nabi-nabi, termasuk Nabi
Muhammad. Nabi yang terdahulu mengimani nabi-nabi yang selanjutnya dan
juga sebaliknya. Seperti Nabi Muhammad juga mengimani kebenaran
wahyu-wahyu yang telah diterima oleh para pendahulunya.
Dan
ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian para nabi, “Sekalipun kamu
sudah Aku beri kitab dan pengertian yang mendalam, tetapi nanti bila
datang seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, hendaklah
kamu percaya (beriman) kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman:
“Maukah kamu mengucapkan ikrar melaksanakan perjanjian-Ku itu ? Mereka
menjawab:”Mau, kami menyatakan ikrar” . Allah berfirman:” Hendaklah kamu
menjadi saksi! Akupun menjadi saksi pula bersama-sama kamu”. (QS.3 Ali
Imran:81).
Terdapatnya benang merah yang
menghubungkan antara hakikat dari pengetahuan yang disampaikan antara
Nabi yang satu dengan lainnya menunjukkan adanya suatu proses
transformasi pengetahuan yang berkesinambungan, satu sama lain saling
terkait seperti mata rantai. Bagi Nabi yang merupakan mata rantai
terakhir dari proses ke-nabi-an tersebut, maka seluruh wahyu yang
diterimanya akan meliputi seluruh wahyu-wahyu yang telah diterima
Nabi-nabi sebelumnya yang berasal dari seluruh pelosok dunia.
Dikarenakan
sifat wahyu-wahyu yang diterimanya yang berasal dari seluruh penjuru
bumi tersebut, membuat posisi Nabi Muhammad menjadi berbeda dengan
nabi-nabi lainnya. Apabila nabi-nabi lainnya diutus untuk satu umat
tertentu, maka Nabi Muhammad merupakan satu-satunya nabi yang diutus
untuk seluruh umat manusia dan oleh karena itu Kitab-nya juga berlaku
untuk setiap manusia sampai pada akhir zaman. Sebagai Kitab dari Nabi
terakhir, Al Qur’an merupakan Kitab yang terlengkap dan oleh karena itu
dapat menjelaskan semua pengetahuan yang terdapat pada Kitab-kitab
sebelumnya.
Muhammad itu bukan hanya bapak dari
seorang laki-laki di antaramu, tetapi dia adalah Rasul Allah Bapak
Seluruh Umat, Penutup para Nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS. 33 Al Ahzab: 40).
Dialah yang
mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang
benar, untuk dibuktikan-Nya keunggulannya di atas dari semua agama,
sekalipun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya. (QS. 9 At Taubah:
33).
Dialah yang mengutus Rasul-Nya
membawa petunjuk dan agama Islam yang benar agar Islam itu nyata
keunggulannya melebihi semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
(QS. 48 Al Fath: 28)
Dialah yang
mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia
memenangkannya di atas segala agama walaupun dibenci orang-orang
musyrik. (QS.61 Ash Shaff: 9).
Kesempurnaannya itu
sendiri secara jelas disebutkan dalam wahyu-Nya yang terakhir kali
diterima Nabi Muhammad, yang menyatakannya sebagai berikut,
Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmatku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu.
(QS.5 Al Ma’idah:3)
Al Qur’an sebagai Kitab dari Nabi
Muhammad yang merupakan mata rantai penutup dari proses ke-nabi-an,
merupakan Kitab yang paling lengkap dan paling sempurna, oleh karena itu
dapat menjelaskan seluruh pengetahuan dan Kitab-kitab yang telah
disampaikan kepada seluruh Nabi-nabi. Sebaliknya, karena kekurang
sempurnaan isinya maka seluruh Kitab dari nabi-nabi sebelumnya tidak
dapat menjelaskan kandungan pengetahuan yang terdapat pada Al Qur’an.
Oleh adanya sifat Al Qur’an yang demikian, maka seharusnya kaum Muslimin
dapat bersikap lebih arif terhadap perbedaan dan lebih responsible
terhadap pemikiran-pemikiran yang kritis, logis dan realistis, yang
bertujuan untuk lebih meningkatkan pemahaman tentang kehendak Tuhan
terhadap kehidupan manusia dan alam semesta.
Selain itu
terangkumnya seluruh wahyu dari para Nabi-nabi dalam sebagai sebuah
Kitab, merupakan penjelasan tentang ke-esa-an Tuhan, dan oleh katrena
itu agama yang diturunkan kepada manusia juga hanya satu, yaitu Islam.
Kata Islam sendiri berasal dari kata
aslama-yuslimu-islam, artinya
menyelamatkan, masuk dalam keselamatan, menyerahkan diri atau tunduk
dan patuh. Apabila arti Islam yang demikian tadi dipakai untuk melihat
setiap agama-agama besar yang ada sekarang ini, maka pertanyaannya
adalah, apakah ada agama yang tidak mengajarkan hal tersebut kepada
umatnya masing-masing, yaitu sikap kepasrahan, ketertundukan dan
kepatuhan di dalam menjalani kehidupan ini agar dapat melaksanakan
kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu mencapai kehidupan yang
selamat dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat nanti ? Menurut
istilah, Islam adalah agama (din) yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi
dan Rasul-nya agar menjadi pedoman hidup bagi manusia, yang akan
mendatangkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kalau
memang demikian, maka sejarah kenabian dapat disebut sebagai sejarah
proses perkembangan peradaban manusia.
Ke-universal-an Al Qur’an Dan Kebudayaan
Di
dalam suatu karya terkandung kehendak dari penciptanya. Kehendak maupun
anjuran menjelaskan adanya suatu tujuan, sebab tujuan merupakan wujud
riil dari kehendak. Agar kehendak tersebut dapat terrealisasi, maka yang
diperlukan adalah komunikasi antara subyek yang berkehendak dengan
obyek yang menjadi tujuan kehendak tersebut.
Tuhan
adalah entitas yang transenden, keberadaannya melampaui ruang dan waktu
serta mengatasi keberhinggaan. Lain halnya dengan keberadaan manusia
sebagai mahluk yang terbelit dalam imanensinya. Sebagai yang
berkehendak, maka untuk menyatakan kehendak-Nya kepada manusia, Tuhan
melakukan komunikasi yang disampaikan melalui suatu mediasi yang
kemudian disebut sebagai proses pewahyuan. Pesan apapun yang disampaikan
oleh Tuhan yang transenden agar dapat dipahami oleh manusia yang
imanen, maka alat komunikasinya atau bahasa yang dipakai harus
disesuaikan dengan bahasa manusia. Apabila tidak demikian, maka mustahil
manusia mampu menangkap pesan-pesan tersebut, sebab antara Tuhan dengan
manusia, keduanya berada dalam
dimensi atau
alam yang berbeda karakteristiknya.
Ketika
bahasa yang dipakai komunikasi adalah bahasa manusia, maka pesan
tersebut akan muncul dalam bentuknya yang beragam, sesuai dengan hakekat
kemajemukan sistim nilai budaya yang ada di dalam kehidupan manusia itu
sendiri. Setiap budaya yang ada masing-masing mempunyai spesifikasinya
sendiri-sendiri, sebab terbentuknya suatu budaya tidak terlepas dari
pengaruh yang kuat dari faktor ruang atau lingkungan dimana proses
kehidupan masyarakat tersebut berlangsung. terjadinya perbedaan pada
perilaku di dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pengertian budaya
sendiri pada masa sekarang ini seringkali direduksi, sehingga oleh
masyarakat kebudayaan seringkali hanya dipahami sebatas kegiatan yang
berhubungan dengan kegiatan kesenian dan tradisi saja, Atau memang
demikian halnya?
Kata
budaya berasal dari kata
budi dan
daya
yang kemudian dijadikan satu kata untuk memadatkan maknanya sehingga
membentuk satu pengertian yang baru, namun tidak keluar dari pengertian
kata-kata asalnya. Kata
budi di antaranya memiliki makna
akal untuk mempertimbangkan dan membuat keputusan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Sedangkan arti
daya di antaranya adalah
kekuatan atau
pengaruh.
Setelah kedua kata tersebut dijadikan satu, maka kemudian artinya berkembang menjadi
kesadaran menuju kebaikan. Di dalam sebuah konsep humanistik, budaya di sebutkan sebagai
sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih bernilai untuk ditempuh.
Di dalam pernyataan tersebut, terkandung pengertian bahwa budaya
merupakan suatu sistim informasi yang meliputi seluruh aspek kehidupan
yang keberadaannya terwujud karena perkembangan norma-norma kehidupan
yang ada di masyarakat yang bersangkutan serta lingkungannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan norma-norma kehidupan tersebut, dapat dipahami sebagai:
1. alam pikir
2. alam budi
3. alam tata susila
4. alam seni
5. alam karya
Proses
pemikiran atau aktifasi dari alam pikir yang dilakukan terhadap suatu
ide akan menghasilkan apa yang disebut sebagai hasil pemikiran. Untuk
menentukan apakah hasil pemikiran tersebut akan direalisasikan menjadi
suatu kegiatan, maka fungsi filtrasi dari alam budi dan alam tata susila
akan sangat berpengaruh di dalam menentukan apakah proses realisasi
hasil pemikiran menjadi kegiatan akan dilaksanakan atau tidak. Apabila
hasil pemikiran tersebut dianggap sudah memenuhi nilai-nilai kebenaran
menurut alam budi dan alam tata susila maka hasil pemikiran tersebut
akan diputuskan untuk direalisasikan. Tetapi bila yang terjadi adalah
kebalikannya, maka hasil pemikiran tersebut tidak akan diteruskan agar
menjadi suatu kegiatan atau tindakan. Setelah keputusan untuk
melaksanakan hasil pemikiran menjadi kegiatan atau tindakan dibuat, maka
yang berperan selanjutnya adalah alam seni yang menyangkut estetikanya
dan alam karya yang menentukan dengan cara yang bagaimana proses
realisasi tadi akan diwujudkan.
Bilamana proses realisasi
tersebut mendapat tanggapan yang positip dari masyarakat, maka yang akan
terjadi adalah proses pengulangan yang kemudian akan menjadi kebiasaan.
Hasil karya yang benar dan baik cenderung akan diikuti oleh masyarakat.
Pengulangan suatu kegiatan oleh masyarakat akan menghasilkan kebiasaan
masyarakat, yang apabila dilembagakan maka kebiasaan masyarakat ini
kemudian disebut sebagai adat istiadat atau tradisi. Terjadinya
interaksi antara masyarakat yang satu dengan yang lain, atau suatu
budaya dengan budaya lain, akan menimbulkan konflik-konflik yang
menyangkut ke-lima norma-norma kehidupan tadi. Konflik yang terjadi
apabila disikapi secara arif merupakan masukan-masukan yang dapat
mengakibatkan terjadinya perkembangan yang dinamis pada tradisi yang
sudah ada pada masyarakat. Melalui proses pembelajaran dan pemerkayaan
terhadap tradisi yang ada, maka terbentuklah budaya masyarakat.
Dengan
demikian, norma-norma kehidupan yang telah menjadi tradisi pada
dasarnya merupakan akar dari budaya masyarakat. Sehingga, sejauh apapun
perkembangan budaya yang terjadi seharusnya tidak keluar atau tercabut
dari akarnya.
Ketika pelaksanaan akal, budi serta karya
manusia dilandasi dengan kesadaran etik dan estetika, maka ditangan
manusia yang demikian itu, potensi alam benar-benar mendapatkan arti dan
maknanya bagi kehidupan seluruh manusia. Dengan demikian, adanya
sebutan bahwa manusia adalah mahluk budaya mempunyai pengertian bahwa
kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan perilaku manusia. Dalam
kebudayaan, tercakup seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar pokok
manusia untuk menentukan sikapnya, bahkan untuk mendasari setiap langkah
yang hendak dan harus dilakukan sehubungan dengan pola hidup dan tata
cara kemasyarakatan dan lingkungannya maupun terhadap dunia.
Demikian
luasnya cakupan yang terkandung di dalam budaya manusia, sehingga
timbul pertanyaan, mengapa di dalam kajian agama keberadaan faktor
budaya atau kebudayaan tersebut hampir tidak pernah disinggung.
Bagaimana mungkin predikat Al Qur’an sebagai Pedoman Hidup seluruh umat
manusia akan terrealisasi apabila tidak membudaya. Padahal sebagai
Pedoman Hidup, Al Qur’an harus sudah berperan aktif di dalam membimbing
dan mengarahkan manusia di dalam mengaktualisasikan alam pikir, alam
budi, alam tata susila, alam seni dan alam karyanya. Selain itu, Al
Qur’an sendiri telah menegaskan tentang keberadaan budaya tersebut pada
salah satu ayatnya, sehingga keberadaan budaya yang sangat beragam ini
pada dasarnya merupakan sunatullah atau tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang
harus dipatuhi.
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Teliti.
(QS. 49 Al Hujurat: 13).
Terjadinya
interaksi antar manusia dengan latar belakang budaya yang beragam akan
mengakibatkan terjadinya konflik-konflik kebudayaan yang pada dasarnya
merupakan kondisi dinamis yang terbentuk oleh adanya interaksi tersebut.
Melalui konflik yang terjadi masyarakat dapat belajar untuk saling mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya.
Melalui
perbedaan yang ada tersebut, masyarakat dapat mengembangkan dan
sekaligus meningkatkan kwalitas kehidupannya sendiri, tanpa harus
disertai dengan mengorbankan sistim kehidupan sosial budaya aslinya.
Sebab nilai-nilai tradisi yang ada pada suatu budaya sebenarnya
merupakan jati diri atau identidentitas suatu masyarakat dan itu adalah
anugerah Tuhan.
Dari uraian tersebut di atas, maka
pemahaman terhadap istilah Orang Beriman sebagai orang yang bertakwa
mempunyai pengertian yang lebih spesifik, yaitu manusia yang sikap
hidupnya terbentuk oleh cara berfikirnya yang selalu berdasarkan atas
kesadaran dirinya terhadap faktor ruang dan waktu kehidupannya.
Kesadaran terhadap ruang membuat manusia tersebut sadar dan konsisten
dengan sistim nilai-nilai budaya darimana dia berasal maupun sistim
nilai yang berlaku dimana manusia tersebut sedang berada. Adapun
kesadaran terhadap waktu membuat cara pandang, cara berfikir dan sikap
hidupnya menjadi dinamis, sehingga selalu mampu beradaptasi dengan
harmonis terhadap setiap lingkungan dimana dia berada. Dimanapun dia
berada, sikapnya tetap menunjukkan nilai-nilai budaya aslinya dengan
tidak mengabaikan sistim nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat
dimana pada saat tersebut dia berada. Kemampuannya beradaptasi yang
demikian tadi menunjukkan sampai berapa jauh kemampuan penguasaan
lingkungannya.
Berdasarkan atas hal tersebut, sebenarnya
wahyu-wahyu yang disampaikannya para nabi-nabi merupakan informasi atau
pengetahuan yang dapat dipakai untuk me-modernisasi-kan kehidupan suatu
masyarakat. Dikatakan demikian sebab modernisasi merupakan proses
pen-canggih-an atau pengembangan dan peningkatan sistim nilai sosial
budaya yang tetap berakar pada nilai-nilai tradisi.
Oleh sebab
itu, efek modernisasi meskipun dapat mengakibatkan terjadinya
perkembangan pada sistim kehidupan sosial budaya suatu masyarakat,
tetapi tidak akan membuat manusia tercabut dari akar budaya aslinya dan
kemudian menjadi asing terhadap nilai-nilai budaya asalnya. Perkembangan
dan peningkatan yang terjadi justru akan semakin memperkokoh keberadaan
atau eksistensi budaya suatu masyarakat di dalam perkembangan kehidupan
yang juga terjadi pada masing-masing budaya yang ada secara menyeluruh.
Perbedaan
yang selalu terjadi merupakan kondisi yang kondusif untuk terjadinya
perkembangan yang dinamis di dalam kehidupan manusia yang semakin lama
semakin heterogen dan semakin komplek. Potensi yang demikian ini
terdapat pada Al Qur’an mengingat bahwa Al Qur’an secara hakikat
merangkum seluruh pengetahuan nabi-nabi yang berasal dari berbagai
penjuru dunia, selain pengetahuan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
sendiri sebagai pelengkap atau penyempurna dari seluruh pengetahuan yang
sudah ada sebelumnya.
Segala sesuatu yang ada di dunia
ini, termasuk seluruh agama yang ada, semuanya bersumber pada sumber
yang satu, yaitu Tuhan Yang Esa. Oleh karena itu seluruh agama pada
hakekatnya merupakan Agama Tunggal, karena memang berasal dari sumber
yang sama. Dengan demikian, sebagai Kitab dari Nabi terakhir, maka
pengertian Al Qur’an yang disebutkan diturunkan secara bertahap bukan
hanya terjadi pada masa ke-nabi-an Nabi Muhammad saja, tetapi juga
bertahap sejak Nabi Adam sebagai Nabi pertama dan berlanjut terus dengan
Nabi-nabi lainnya yang akhirnya berhenti pada Nabi Isa.
Apabila
ditinjau dari fakta-fakta sejarah, setiap proses pewahyuan pada masa
Nabi Muhammad selalu di awali dengan kasus yang aktual. Fakta sejarah
tersebut diantaranya menjelaskan, bahwa karena turunnya wahyu merupakan
respon terhadap suatu masalah yang aktual, maka wahyu juga mempunyai
sifat realistis dan oleh karena itu logis. Selain itu karena wahyu yang
turun berbahasa Arab, maka meskipun pada satu sisi wahyu yang diterima
Nabi Muhammad secara hakikat bersifat universal, tetapi pada sisi
lainnya juga bersifat kontekstual.
Kami turunkan berupa Al Qur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu dapat memahaminya. (QS. 12 Yusuuf: 2)
Sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an itu dengan bahasa Arab, supaya kamu dapat memahaminya. (QS. 43 Az Zukhruf: 3).
Bahasa
adalah salah satu elemen kebudayaan. Proses pewahyuan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan bahasa yang berbeda-beda, sesuai dengan
bahasa yang dipakai oleh masyarakat, mempunyai tujuan agar wahyu
tersebut dapat dipahami dan kemudian diimplementasikan di dalam realitas
sesuai dengan cara pandang, cara berfikir oleh umat dari setiap nabi
yang bersangkutan.
Sebab budaya itu merupakan
suatu sistim informasi yang obyeknya meliputi seluruh aspek-aspek
kehidupan suatu masyarakat. Proses pewahyuan yang merupakan proses
transformasi pengetahuan tersebut akan mengakibatkan terjadinya
transmutasi budaya, yaitu dari budaya yang awalnya lebih sederhana
menjadi budaya yang lebih tinggi, bukan proses eliminasi terhadap
eksistensi atau keberadaan suatu budaya yang sudah ada, sehingga dapat
berakibat pada tercabutnya masyarakat dari nilai-nilai tradisi yang
berasal dari budaya asalnya. Sebab bagaimanapun juga keberadaan budaya
yang sangat heterogen tersebut juga merupakan hasil kretivitas
intelejensia Tuhan.
Bahasa adalah salah
satu unsur budaya yang dapat difungsikan sebagai suatu media yang
digunakan untuk mengumpulkan dan memahami pengetahuan yang di dapatnya.
Dengan bahasa itu manusia menerima dan mengembangkan pengetahuannya
serta mentransformasikan pengetahuan tersebut kepada manusia lainnya,
sehingga pengetahuan manusia menjadi berkembang terus. Tradisi melakukan
transformasi pengetahuan pada awalnya dilakukan dengan cara lesan.
Untuk menjaga keotentikan, obyektifitas dan validitas terhadap kebenaran
sumber pengetahuan maka dilakukan inventarisasi dengan cara penulisan.
Pengembangan lebih lanjut lagi setelah diperoleh pengetahuan adalah
mengembangkan pengetahuan tersebut menjadi simbol-simbol abstrak yang
disandikan/bahasa sandi. Maka pengertian bahasa menjadi meluas, tidak
hanya meliputi bahasa lesan, melainkan juga meliputi segala macam bentuk
lambang/simbol yang berupa kata, gerakan maupun tulisan/gambar.
Hal
yang sama juga dilakukan terhadap wahyu-wahyu yang diterima Nabi
Muhammad. Wahyu yang diterima kemudian dituliskan sesuai dengan yang
diterima Nabi Muhammad. Namun pertanyaannya adalah,
apakah
lafal teks yang dalam bahasa Arab telah mampu menjelaskan seluruh
phenomena kehidupan yang ada pada setiap pelosok dunia dan yang
berlangsung sampai pada akhir jaman? Apalagi kalau mengingat bahwa kata
phenomena memberikan petunjuk yang jelas terhadap adanya
neumena yang
artinya hakikat. Oleh karena itu, untuk mengetahui seluruh phenomena
alam semesta, tidak cukup kalau hanya mengandalkan lafal teksnya saja.
Tetapi juga dibutuhkan penalaran akal dengan mempergunakan kaidah-kaidah
logika, untuk mengetahui realitas-realitas yang terdalam dan masih
tersembunyi dari alam fenomenal, menuju neumena atau hakikat yang
tersembunyi di dalamnya. Dalam hal ini, Tuhan menganjurkan kepada
manusia agar memperhatikan adanya perumpamaan-perumpamaan yang terdapat
di dalam ayat-ayat Al Qur’an.
Sesungguhnya
dalam Al Qur’an ini sudah Kami kemukakan segala macam perumpamaan untuk
umat manusia. Dan sesungguhnya bila engkau bawa suatu ayat kepada
mereka, mereka yang kafir itu akan berkata: “Kamu tidak lain hanya
orang-orang yang membuat-buat kepalsuan belaka”. (QS.30 Ar Ruum: 58).
Dari
ayat tersebut di atas, terlihat bahwa pemahaman dengan mempergunakan
faktor bahasa sebagai alatnya, meskipun selama ini sudah terbukti begitu
besar kontribusinya terhadap pemahaman tentang realitas, namun hal
tersebut bukanlah berarti sudah dapat diartikan sebagai telah mampu
menguak seluruh kedalaman realitas di mana neumena (hakikat) berada.
Dengan demikian, akhirnya bahasa Al Qur’an lebih merupakan bahasa
simbolis, dan karena itu terbuka terhadap intepretasi atau penafsiran
sesuai dengan budaya si penafsirnya, serta tingkat pemahaman yang sesuai
dengan kebutuhan jaman maupun perkembangan ilmu pengetahuan atau
peradaban manusia.
pemahaman ini adalah hasil sebuah perenungan serta diskusi bersama dengan seorang sahabat yang saat ini saya sendiri sudah tidak mengetahui dimana keberadaannya. Bagi saya dia adalah guru yang hebat dengan pemahaman spritualitas yang baik. Ini adalah ilmu sang sahabat saya, saya hanya mencoba mentransfernya kepada semua orang, sekiranya bermanfaat.
Wassalam...